Keranjang Anda kosong!
Delapan Golongan Penerima Zakat

Delapan golongan penerima zakat telah disebutkan dalam Al-Quran
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”(QS. At-Taubah: 60)
Ayai ini menggunakan kata “innama” yang memberikan makna pembatasan sehingga bahwa zakat hanya diberikan untuk delapa golongan tersebut, tidak untuk golongan lainnya.
Golongan pertama dan kedua: fakir dan miskin
Menutur ulama Syafi’iyah dan Malikiyah, fakir adalah seseorang yang tidak memiliki harta dan usaha yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun miskin adalah orang yang hanya mampu mencukupi separuh atau lebih dari separuh kebutuhannya, namun tidak memenuhi seluruhnya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin memberi gambaran perbedaan antara fakir dan miskin. Jika seseorang mendapat gaji dalam setahun sebesar 5.000 riyal sedangkan kebutuhan hidupnya 10.000 riyal, maka kondisi tersebut dapat dikatakan miskin karena ia hanya mampu memenuhi separuh kebutuhannya. Apabila seseorang mendapat gaji 4.000 riyal dalam setahun sedangkan kebutuhannya dalam setahun sebesar 10.000 riyal maka dalam kondisi tersebut dia dianggap fakir. Begitu pula bila dia tidak memiliki pekerjaan maka dia dianggap fakir.
Golongan ketiga: amil zakat
Sayyid Sabiq rahimahullah ,mengatakan, “Amil zakat adalah orang yang diangkat oleh penguasa atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Termasuk amil zakat orang yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan ternak zakat, dan juru tulis yang bekerja di kantor zakat.”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan, ” Amil zakat adalah orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya lalu menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai dengan kadar kerja mereka, meski mereka sebenarnya adalah orang kaya. Adapun orang biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat untuk mendiatribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat, sehingga mereka tidak berhak mendapatkan harta zakat sedikit pun karena status mereka hanya sebagi wakil. Akan tetapi, jika mereka dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan, maka mereka turut mendapatkan pahala. Namun jika mereka meminta upah karena telah mendistribusikan zakat, orang yang berzakat wajib memberi mereka upah dari hartanya yang lain, bukan dari zakat (yang mereka tunaikan).”
Berdasarkan paparan diatas syarat seseorang agar bisa disebut amil zakat adalah” diangkat dan diberi otoritas oleh penguasa muslim untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya”. Dengan demikian panitia-panitia yang ada di berbagai masjid serta orang yang menagnkat dirinya sendiri menjadi amil bukanlah amil zakat secara syar’i. hal ini sesuai dengan istilah amil, karena yang disebut amil adalah pekerja yang dipekrjakan oleh pihak tertentu.
Memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil, karena amil memiliki kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang yang menolak membayar zakat. Berapa besar zakat yang diberikan kepada amil? Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan, “Ia diberikan sebagaimana upah hasil kerja kerasnya”.
Golongan keempat: muallafatu qulubuhun (orang yang ingin dilembutka hatinya)
Bisa jadi ini adalah golongan muslim dan kafir.
Contoh dari kalangan muslim:
- Orang yang lemah imannya. Ia diberi zakat untuk menguatkan imannya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan, “Termasuk golongan mu’allafatu qulubuhum adalah orang yang diharapkan ketika diberikan zakat imannya akan semakin kuat. Orang yang diberi di sini adalah yang lemah imannya, seperti meremehkan shalat, lalai menunaikan zakat, lalai melaksanakan kewajiban haji dan puasa, serta semacamnya.”
- Pemimpin di kaumnya, lanatas masuk Islam, Ia diberi zakat untuk mendorong orang kafir semisalnya agar tertarik pula untuk masuk Islam.
Contoh dari kalangan kafir:
- Orang kafir yang sedang tertarik pada Islam. Ia diberi zakat supaya condong untuk masuk Islam,
- Orang kafir yang ditakutkan akan bahayanya. Ia diberikan zakat agar menahan dirinya supaya tidak mengganggu kaum muslimin.
Oleh sebab itu, orang yang sudah lama masuk Islam dan sudah bagus keislamannya tidak tepat diberikan zakat, karena ia bukan lagi orang yang mu’allafatu qulubuhum. Wallahu a’alam.
Golongan kelima: pembebasan budak
Pembebasan budak yang termasuk di sini adalah: (1) pembebasan budak mukatab, yaitu budak yang berjanji pada tuannya untuk memerdekakan dirinya dengan syarat melunasi pembayaran tertentu, (2) pembebasan budak muslim, dan (3) pembebasan tawanan muslim, yang berada di tangan orang kafir.
Golongan keenam: orang yang terlilit hutang
Yang termasuk golongan ini adalah:
Pertama: Orang yang terlilit utang demi kemaslahatan dirinya, Namun , ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:
- Yang berutang adalah orang muslim.
- Bukan termasuk ahlul baiy (keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
- Bukan orang yang bersengaja berutang untuk mendapatkan zakat.
- Orang yang berutang bukan dalam rangka maksiat seperti untuk minuma keras, berjudi, berzina, kecuali jika ia bertaubat.
- Utang tersebut mesti segera dilunasi, bukan utang yang masih tertunda untuk dilunasi beberapa tahun lagi. Jika utang tersebut mesti dilunasi pada tahun itu juga berarti ia berhak menerima zakat.
- Bukan orang yang masih memiliki harta simapanan untuk melunasi utangnya.
Kedua: Orang yang terlilit utang untuk memperbaiki hubungan orang lain. Artinya ia berutang bukan untuk kepentingan pribadinya.
Ketiga: Orang yang berutang karena dhomin (penanggung jaminan utang orang lain). Namun, disyaratkan bahwa orang yang menjamin utang dan yang dijamin utangnya sama-sama orang yang sulit melunasi utang.
Golongan ketujuh:di jalan Allah (fi sabilillah)
Yang termasuk fi sabilillah adalah:
Pertama: Berperang di jalan Allah
Orang yang berperang di jalan Allah tidak berjuan untuk kemaslahatan dirinya saja, tetapi juga untuk kemaslahatan seluruh kaum muslimin, sehingga tidak disyaratkan fakir atau miskin
Kedua: Untuk kemaslahatan perang
Seperti untuk pembangunan benteng pertahanan, penyediaan kendaraan perang, penyediaan persenjataan, pemberian upah pada mata-mata – baik muslim atau kafir – yang bertugas untuk memata-matai musuh
Golongan kedelapan: ibnu sabil, yaitu orang yang kehabisan bekal di perjalanan
Ialah orang asing yang tidak dapat kembali ke negerinya. Ia diberi zakat agar dapat melanjutkan perjalanan ke negerinya. Ibnu sabil diberi zakat apabila memenuhi syarat: (1) muslim dan buka ahlul bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), (2) tidak memiliki harta pada saat itu sebagai biaya untuk kembali ke negerinya walaupun di negerinya dia adalah orang yang berkecukupan, dan (3) safar yang dilakukan bukanlah safar maksiat.
Tinggalkan Balasan