SIKAP PERTENGAHAN AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH

Ahlus Sunnah merupakan kelompok pertengahan

Sikap Pertengahan Ahlus Sunnah Antara Firqah Sesat dalam Masalah Sifat Allah

Ahlus Sunnah merupakan kelompok pertengahan antara Jahmiyah yaitu orang-orang yang menafikan sifat-sifat dan nama-nama Allah dengan Ahli Tamtsil yaitu orang-orang yang meyakini sifat-sifat Allah namun menjadikan sifat-sifat tersebut sebagaimana sifat-sifat makhluk. Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dan tanpa meniadakannya. Mereka memadukan antara Tanzih (pemahasucian) dan Itsbat (penetapan). Allah membantah kedua kelompok yang menyimpang dengan firman-Nya: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Sikap Pertengahan Ahlus Sunnah Antara Jabariyah dan Qadariyah dalam Masalah Perbuatan Hamba

Ahlus Sunnah memiliki sifat pertengahan antara paham Jabariyah yang meyakini hamba dipaksa atas segala perbuatannya dengan paham Qadariyah yang meyakini hambalah yang menciptakan sendiri perbuatannya tanpa kehendak dan kekuasaan Allah. Adapun Ahlus Sunnah meyakini Allah-lah yang menciptakan hamba serta perbuatan-perbuatan mereka dan hamba tersebut benar-benar melakukan dan memiliki kemampuan untuk melakukannya. Allah Ta’ala berfirman: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu buat.” (Ash-Shafat : 96). Allah Ta’ala berfirman: “Bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Rabb semesta alam.” (At-Takwir : 28-29).

Sikap Pertengahan Ahlus Sunnah Antara Kaum Murji’ah dan Kaum Wa’idiyah dari Golongan Qadariyah dalam Masalah Ancaman Allah

Ahlus Sunnah memiliki sikap pertengahan mengenai ancaman Allah yaitu sikap antara Kaum Murji’ah yang meyakini bahwa pelaku dosa besar tidak terkena ancama siksa dengan Kaum Wa’idiyah yang meyakini pelaku dosa besar kekal di neraka. Adapun Ahlus Sunnah meyakini pelaku dosa besar itu beriman dengan keimanannya namun juga fasik oleh perbuatan dosa besarnya. Apabila ia mati sebelum bertaubat maka ia akan berada di bawah kehendak Allah. Apabila Dia menghendaki maka ia mengampuninya sesuai kasih sayang dan karunia-Nya dan memasukkannya ke dalam surga. Apabila Dia menghendaki maka Dia akan disiksa sesuai dengan keadilan-Nya dan dimasukan ke neraka sesuai dengan kadar dosanya, kemudian dikeluarkan setelah disucikan dan dibersihkan dari dosa-dosa dan kemaksiatan hingga akhirnya dapat masuk ke dalam surga berkat syafaat atau karunia dari Allah Ta’ala. Ahlus Sunnah mengatakan: menyelisihi ancaman merupakan kemurahan, berbeda dengan menyelisihi janji kebaikan. Menyelisihi ancaman merupakan perbuatan terpuji, tidak sebagaimana menyelisihi janji kebaikan. Seorang penyair berkata : Sungguh, bila aku mengancamnya atau menjanjikan kebaikan untuknya Kuselisihi ancamanku, dan kupenuhi janji baikku.”

Sikap Wasath Pertengahan Ahlus Sunnah dalam Masalah Asma’ul Iman wad Diin (Nama-Nama Iman dan Din) Antara Kaum Haruriyah dan Mu’tazilah dengan Kaum Murji’ah dan Jahmiyah

Haruriyah mengatakan bahwa iman tidak bertambah dan tidak berkurang, apabila melakukan dosa besar maka kafir di dunia dan akan kekal di neraka selama-lamanya bila ia belum taubat sebelum mati. Haruriyah mengatakan pelaku dosa besar mutlak kafir namun terdapat sedikit pandangan berbeda oleh Mu’tazilah yang mana pelaku dosa besar telah keluar dari iman namun belum mutlak memasuki kekafiran. Murjiah meyakini pelaku dosa besar memiliki keimanan yang sempurna dan tidak berhak masuk neraka sehingga keimanan orang yang paling fasik sama dengan orang yang beriman dengan sempurna. Jahmiyah mengatakan orang yang melaksanakan dosa besar mereka memiliki keimanan yang sempurna dan tidak berhak dimasukkan ke dalam neraka. Adapun Ahlus Sunnah meyakini Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Mereka meyakini pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang kurang keimanannya.

Sikap Pertengahan Ahlus Sunnah dalam Masalah Sahabat Rasulullah SAW Antara Rafidhah dengan Khawarij dan Nawashib

Rafidhah merupakan segolongan dari Syi’ah yang mengkultuskan Ali RA dan Ahlul Bait secara verlebihan dan memusuhi mayoritas sahabat seperti Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Sedangkan Khawarij kebalikan dari Rafidhah yaitu mengkafirkan Ali, Mu’awiyah, dan sahabat-sahabat yang bersama keduanya. Sedangkan Nawashib adalah golongan yang menampakkan permusuhan dan mencela Ahlul Bait. Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah mereka tidak mengkultuskan Ali dan Ahlul bait, tidak menampakkan permusuhan terhadap para sahabat, tidak mengkafirkan mereka, serta tidak berbuat sebagaimana golongan Nawashib yang memusuhi Ahlul Bait. Jadi mereka bersikap pertengahan antara pengkultusan yang dilakukan RAfidhah dan kebencian orang-orang Khawarij.

Khawarij (pengikut Washil bin ‘Atho’ dan Amru bin ‘Ubaid:) Haruriyah,

Mu’tazilah: Qadariyah: Wa’idiyah

Jahmiyah: meyakini hamba itu dipaksa atas perbuatan dan gerakan-gerakannya sebagaimana halnya gerakan-gerakan orang yang gemetar dan urat-urat yang berdenyut, kesemuanya perbuatan Allah. Hal ini yang mengantar mereke juga kepada keyakinan bahwa orang yang menlaksanakan dosa besar tetap memiliki keimanan yang sempurna dan tidak berhak masuk ke dalam neraka.

Qadariyah: meyakini hambalah yang menciptakan perbuatannya tanpa campur tangan kehendak dan kekuasaan Allah. Mereka mengingkari bahwa Allah adalah pencipta perbuatan-perbuatan hamba. Mereka mengatakan “Allah tidak menghendaki dan tidak menginginkannya”.

Murji’ah: meyakini dosa sama sekali tidak mendatangkan mudharat terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berguna dengan adanya kekafiran serta mengatakan iman hanyalah sebagai pembenaran dalam hati. Seorang yang melakukan dosa besar memiliki keimanan yang sempurna dan tidak berhak masuk neraka. Sehingga keimanan orang yang paling fasik sama dengan keimanan orang yang paling sempurna imannya

Wa’idiyah: meyakini Allah haruslah menyiksa orang yang bermaksiat sebagaimana harus memberi pahala kepada orang yang berbuat ketaatan sehingga pelaku dosa besar yang meninggal tanpa bertaubat haruslah kekal di dalam neraka.

Haruriyah: berpendapat bahwa seseorang tidak dikatakan mukmin jika telah melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi dosa-dosa besar. Din dan iman hanya perkataan, perbuatan, dan keyakinan, tidak bertambah dan tidak berkurang. Barangsiapa yang melakukan dosa besar maka ia telah memasuki kekafiran dan kekal di neraka jika meninggal dalam keadaan belum bertaubat.

Mu’tazilah: meyakini seseorang tidak dikatakan mukmin jika telah melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi dosa-dosa besar. Din dan iman hanya perkataan, perbuatan, dan keyakinan, tidak bertambah dan tidak berkurang. Hukum di dunia pelaku dosa besar berada di suatu tempat di antara dua tempat -telah keluar dari iman namun belum memasuki kekafiran-. Adapun hukum di akhirat yaitu kekal di neraka selama-lamanya.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *